Ada dua
regulasi media yang dipakai di negara demokratis. Pertama, media yang tak
menggunakan wilayah publik atau frekuensi seperti surat kabar dan majalah. Pada
media ini berlaku prinsip pengaturan diri sendiri oleh penerbit dan organisasi
pers. Di samping itu, ada Dewan Pers yang bertugas menjaga kemerdekaan pers,
meningkatkan kualitas profesi wartawan, dan menyelesaikan sengketa pemberitaan
pers. Sejauh ini, masih banyak pihak yang merasa kinerja Dewan Pers belum
memuaskan, karena belum terlihat kegiatan penelitian yang memadai untuk
mengetahui media mana yang baik dan yang tidak.
Kedua,
media yang memakai wilayah publik atau frekuensi seperti radio dan televisi. Media
ini memiliki aturan yang ketat, harus memperoleh izin, isi tidak boleh partisan,
kepemilikan terbatas, dan harus netral. Namun, kenyataan yang ada saat ini,
media justru memperlihatkan pemusatan kepemilikan yang berlebihan dan terselip
unsur partisan.
Independensi
yang seharusnya dimiliki oleh media malah beralih menjadi alat bagi kepentingan
pemilik untuk mencapai tujuan politiknya. Apalagi saat pemilihan umum nanti, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator utama media dan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) harus bekerjasama untuk memantau isi media agar tetap netral.
Permasalahan kepemilikan media, Kementrian Kominfo sebagai
regulator utama seharusnya tidak membiarkan konsentrasi terjadi. Dengan tegas MK
mengatakan, permasalahan yang terjadi sekarang bukan soal konstitusionalitas
melainkan masalah penegakan hukum.
Kesalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pers
Indonesia tetapi juga para regulator sebagai pengatur yang masih harus
meningkatkan kinerjanya, dan juga aparat yang bertugas sebagai penegak hukum. Agar
media di Indonesia menjadi media yang independen bukan media yang dipimpin oleh
kapital yang dapat menguasai segala hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar