Minggu, 25 Mei 2014

Hasil Jepretan Kunjungan ke Solo

 gambar 1 Quality Control tahun 1980
 gambar 2 mesin pemotong pita tahun 1980
 gambar 3 pengganda kaset tahun 1980
 gambar 4 pemutar piringan hitam tahun 1970
 gambar 5 echo recording tahun 1960
 gambar 6 Power amplifier tahun 1960
 gambar 7 studio rekaman pertama di Indonesia


 gambar 8 maket Monumen Pers Nasional
 gambar 9 salah satu diorama yang menceritakan tentang perjalanan pers Indonesia
 gambar 10 pemandangan kota Solo dari puncak tertinggi Monumen Pers Nasional
  gambar 11 beberapa patung tokoh perintis pers  Indonesia
gambar 12 gedung bersejarah yang penuh dengan nilai artistik bergaya vintage
 gambar 13 salah satu peninggalan bersejarah yang kondisinya masih baik, Speaker Control tahun 1960
gambar 14 studio rekaman LOKANANTA
gambar 15 mengintip proses digitalisasi bukti terbit media cetak tahun 1980












---sekian---

Menjelajahi Warisan Budaya yang Terlupakan

            Alhamdulillah, satu kata yang pertama kali terucap ketika kunjungan itu akhirnya terealisasikan juga. Hari itu, tepatnya pada hari Senin tanggal 12 Mei 2014, kami seluruh mahasiswa komunikasi 2013 diberi kesempatan untuk bisa berkunjung ke tempat yang penuh dengan sejarah dan cerita lama yang sempat ditelan oleh waktu. Ya, tempat itu tidak lain adalah LOKANANTA, sebuah studio rekaman tua yang berdiri kokoh di Solo yang sarat akan budaya dan peristiwa penting yang seharusnya tidak boleh dilupakan.
LOKANANTA, sebuah studio rekaman yang berdiri pada tanggal 29 Oktober 1956. LOKANANTA berarti gamelan di kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh. Pada awal berdirinya, LOKANANTA adalah sebuah  Unit Pelaksana Tehnik Jawatan RRI yang berfungsi untuk merekam dan memproduksi atau menggandakan piringan hitam untuk bahan siaran 27 Studio RRI di seluruh Indonesia, sebagai Transcription Service (NON KOMERSIAL). Namun, pada tanggal 1 April 1959 berdasarkan atas keputusan Mentri Penerangan Republik Indonesia LOKANANTA bukan hanya berfunsi sebagai Transcription siaran RRI tetapi juga mengadakan kegiatan komersial seperti penjualan piringan hitam untuk umum.
Pada tahun 1961, berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 215 tahun 1961 status LOKANANTA resmi menjadi Perusahan Negara yang pada awalnya status LOKANANTA hanyalah sebagai sebuah jawatan RRI. Sejak tahun 2004, LOKANANTA mulai bergabung dengan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI), meskipun begitu tugas LOKANANTA tetaplah bergerak di bidang usaha rekaman, pengadaan kaset audio dan CD. Hingga detik ini sudah tidak terhitung lagi berapa banyak rekaman-rekaman yang telah dihasilkan oleh LOKANANTA.
Berbicara soal musik sepertinya tidak lengkap jika kita tidak mengaitkannya dengan  LOKANANTA. Kontribusi LOKANANTA dalam dunia musik Indonesia sungguh sangat besar dan tidak bisa kita lupakan. Sejak awal berdiri hingga detik ini sudah banyak karya musik dalam berbagai genre yang telah diproduksi oleh LOKANANTA. Selain itu juga telah banyak penyanyi-penyanyi nasional atau penyanyi terkenal yang telah mempercayakan LOKANANTA sebagai studio rekaman tempat mereka memproduksi album maupun single terbaru. LOKANANTA menjadi salah satu studio rekaman terbaik dengan peralatan-peralatan yang mumpuni serta lokasi rekaman yang cukup tepat untuk menghasilkan sebuah masterpiece dengan harga yang terjangkau dan bisa dibilang cukup murah dibanding studio rekaman lain.

LOKANANTA butuh perhatian khusus
          LOKANANTA yang kini tidaklah seperti LOKANANTA yang jaya pada masa-masa sebelumnya. Sejak bergabung dengan Perum PNRI nasib LOKANANTA menjadi semakin tidak terurus. Bahkan hal yang cukup membuat saya miris adalah ketika para pengurus menceritakan bahwa gedung yang telah berjasa tersebut sempat tutup beberapa waktu karena ketiadaan dana operasional yang mengharuskan LOKANANTA ditutup dan tidak beroperasi sama sekali. Kekosongan tersebut tentu saja berdampak pada gedung LOKANANTA  itu sendiri, untungnya ada bantuan dana dari pemerintah yang bisa menyelamatkan nasib gedung yang  tidak bisa dihitung lagi besarnya jasa yang telah diberikannya kepada negri ini.
            Kontribusi yang patut untuk kita apresiasi adalah usaha LOKANANTA dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang sempat melanda Indonesia ketika salah satu lagu daerah Indonesia diakui oleh negara tetangga. Seluruh arsip lagu-lagu daerah dari Sabang hingga Merauke yang disimpan dengan sangat baik oleh LOKANANTA saat itu berhasil membuktikan bahwa lagu Apuse adalah benar-benar milik kebudayaan Indonesia, dan akhirnya negara lain pun mengakui itu. Bukan hanya itu, LOKANANTA pun telah berkontribusi banyak dalam menyimpan sejarah kemerdekaan negri ini lewat master proklamasi yang sampai saat ini masih tersimpan dengan baik di LOKANANTA.
            Sayangnya kontribusi itu tidak terbalas dengan perlakuan yang baik, LOKANANTA tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah sehingga sumber dana yang bisa diharapkan agar LOKANANTA tetap berfungsi adalah betul-betul dari hasil penjualan kaset dan rekaman, bahkan seperti yang disebutkan dalam sebuah situs berita online bahwa beberapa koleksi pun dijual secara terpaksa kepada kolektor untuk biaya operasional LOKANANTA. Padahal untuk menjaga dan merawat puluhan ribu piringan hitam dan ribuan kaset serta pita rekaman yang menyimpan banyak sejarah itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Namun berkat uluran tangan dari banyak pihak serta kegigihan para pengurusnya akhirnya hingga detik ini LOKANANTA tetap berdiri dengan kokoh di  Jln. Ahmad Yani 379, Solo, Jawa Tengah.  
Nasib LOKANANTA kini sudah mulai membaik dari keadaan yang sebelumnya. Para pengurus pun menuturkan bahwa sejak Glen Fredly getol mengampanyekan LOKANANTA kepada masyarakat, nasib LOKANANTA pun semakin hari semakin baik. Banyak penyanyi-penyanyi yang datang dan hendak menikmati atmosfer yang berbeda yang disajikan oleh studio rekaman LOKANANTA. Selain Glen Fredly juga ada penyanyi-penyanyi lain seperti grup musik White Shoes and The Couples Company yang juga merekam ulang lagu-lagu mereka untuk mengenalkan kembali kepada generasi muda Indonesia agar peduli dengan Lokananta. Selain itu juga banyak kunjungan dari masyarakat yang merasa tergerak dan peduli akan nasib studio rekaman tertua yang menyimpan banyak sejarah ini.

Kesan saat berkunjung ke gudangnya musik Indonesia
            Sejak pertama kali sampai di LOKANANTA yang ada dalam benak saya adalah saya seperti balik ke era 60 atau 70-an, mengapa begitu? Karena atmosfer LOKANANTA seperti membawa kita untuk mencoba menikmati suasana lama atau bisa dibilang suasana ketika kakek dan nenek kita masih muda dulu,  suasana itu semakin dikuatkan lewat tembang Remadja Bahana yang diputarkan dengan piringan hitam yang semakin membuat pengunjung terpukau karena takjub dengan benda antik yang detik ini mungkin sulit untuk menemukannya, namun di LOKANANTA barang antik tersebut masih terjaga dan berfungsi dengan baik.
            Setelah puas mendengarkan tembang lawas yang cukup menarik itu, saya berkeliling ke museum LOKANANTA. Sungguh menakjubkan, LOKANANTA masih menyimpan peralatan-peralatan kuno yang berkaitan dengan rekaman seperti Quality Control tahun 1980, Mesin pemotong pita tahun 1980, Pengganda kaset tahun 1980, Pemutar piringan hitam tahun 1970, Speaker Control tahun 1960, dan masih banyak peralatan lainnya yang masih tersimpan dengan sangat baik, dan ada beberapa di antaranya yang masih berada dalam kondisi baik. Selain itu, yang membuat saya tertarik adalah pendingin ruangan (AC) yang terpaku di dinding ruang mastering yang masih mempertahankan AC lama yang kondisinya masih sangat baik dan cukup dingin.
            Penjelajahan saya berakhir di sebuah ruangan yang amat besar yaitu ruang rekaman. Pantas saja Glen Fredly menjatuhkan pilihannya kepada LOKANANTA sebagai studio rekaman yang akan melahirkan album terbarunya. Atmosfer yang disajikan oleh studio rekaman itu benar-benar membuat siapa saja yang masuk ke dalamnya jatuh hati dan takjub ternyata Indonesia mempunyai studio rekaman seperti LOKANANTA ini. Ornamen ruangan yang unik tetapi dibalik itu semua ada kegunaan yang berkaitan dengan kualitas rekaman, seperti langit-langit yang berbentuk lingkaran, persegi, dan lainnya yang  bertujuan agar suara tidak memantul saat proses rekaman. Meskipun hanya sesaat berada di sana, tetapi saya sudah bisa merasakan mengapa Glen Fredly dan musisi lainnya begitu getol memperkenalkan LOKANANTA ke masyarakat luas. 
          LOKANANTA adalah salah satu aset Indonesia yang berharga, menyimpan begitu banyak sejarah, dan patut untuk kita jaga keberadaannya. Jangan sampai gedung bersejarah ini runtuh karena ketiadaan dana. Jangan sampai aset-aset berharga dijual satu per satu kepada para kolektor untuk tetap beroperasi dan memberi sesuap nasi untuk para pengurus setianya. LOKANANTA harus menjadi salah satu aset negara yang harus terus dijaga dan didukung dengan bantuan dana dari pemerintah dan orang-orang yang peduli agar terus produktif untuk berkontribusi dalam musik Indonesia.  #savelokananta

             
Referensi :
Blog LOKANANTA Solo. 2007. LOKANANTA dalam http://lokanantasolo.blogspot.com/ diakses tanggal 24 Mei 2014.
Cicilia G, Maria. 2012. Lokananta, Studio Rekaman Indonesia Pertama yang Terlupakan dalam http://music.okezone.com/read/2012/10/29/386/710463/lokananta-studio-pertama-indonesia-yang-terlupakan diakses tanggal 24 Mei 2014.
Sumber lain : Materi “Sekilas Tentang LOKANANTA” yang diberikan oleh pengurus LOKANANTA.

Sore itu di Monumen Pers Nasional

          Setelah puas menjelajahi studio rekaman Indonesia yang pertama, akhirnya kami melanjutkan rute perjalanan menuju Monumen Pers Nasional. Cuaca saat itu tidak begitu mendukung perjalanan kami menuju Monumen Pers Nasional, awan yang mendung akhirnya menumpahkan tetes demi tetes air ke permukaan bumi. Untungnya rintik hujan tidak menghambat langkah kami untuk tetap bersuka cita di Monumen Pers Nasional. Keringat pun terbalas ketika pertama kali kami sampai di seberang Monumen Pers Nasional, jujur saya sendiri begitu takjub melihat gedung Monumen Pers Nasional dari kejauhan. 
       Monumen Pers Nasional pada awalnya merupakan Gedung Sasonosuko atau Sositet Mangkunegaran, semula merupakan gedung pertemuan bagi kerabat Mangkunegaran, oleh pendirinya Sri Mangkunegaran VII pada 21 Desember 1918. Gedung tersebut merupakan hasil karya arsitek Semarang terkenal di jaman “voor de oorlg” atau Hindia Belanda, R. Atmodirono arsitek pertama bangsa Indonesia. pada tanggal 9 Februari 1978, Monumen pers Nasional diresmikan dan dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto.
            Selanjutnya Monumen Pers Nasional dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers yang bertugas mengatur dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Solo. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2002 Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Gedung ini menjadi saksi bisu lahirnya Soloche Radio Vereeniging (SRV) atau radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan, serta saksi bisu terbentuknya organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Menyimpan sejarah lama kewartawanan
          Monumen Pers Nasional menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh seluruh wartawan atau pers di Indonesia. Gedung ini menyimpan banyak sejarah sejak awal munculnya pers di Indonesia dari masa ke masa. Pertama kali memasuki gedung ini, kita akan disambut oleh deretan patung-patung yang tidak lain adalah para perintis pers Indonesia, seperti : R. Darmosoegito, R. Bakrie Soeriaatmadja, Soetopo Wonobojo, R.M. Bintarti, Dr. Abdul Rivai, DR. GSSJ Ratulangie, RM. Tirto Adhi Soeryo, Dr. Danudirdja Setiabudhi, Djamaludin Adinegoro, R.M. Soedarjo Tjokrosisworo. Deretan patung-patung tersebut dilengkapi dengan penjelasan singkat tentang kontribusi para perintis dalam dunia pers Indonesia.    
          Pemancar radio “RRI KAMBING” juga ikut menyambut kedatangan kami di bagian depan Monumen Pers Nasional, mesin tua ini dulunya digunakan untuk mengumandangkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta menghindari serangan musuh, pemancar radio ini disembunyikan di sebuah kandang kambing agar tidak diketahui oleh pihak lain. Bukan hanya itu, di gedung ini juga tersimpan beberapa mesin ketik lama yang merupakan milik wartawan-wartawan terdahulu yang telah berkontribusi bagi bangsa ini.
            Tidak ketinggalan ada enam episode diorama yang menceritakan sejarah perkembangan pers dan informasi di Indonesia yang dipajang di ruang pamer permanen Monumen Pers Nasional. Diorama pertama, menggambarkan penyampaian berita pada jaman pra sejarah hingga kerajaan di dunia. Diorama kedua, menggambarkan pers pada jaman penjajahan Belanda. Diorama ketiga, menggambarkan pers pada jaman penjajahan jepang. Diorama keempat, menggambarkan perkembangan pers Indonesia pada awal kemerdekaan. Diorama kelima, menggambarkan perkembangan pers di masa Orde Baru. Diorama keenam, menggambarkan perkembangan pers pada masa reformasi. Selain itu juga ada koleksi surat kabar sejak sebelum kemerdekaan.

Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
          Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak terhadap perkembangan pers di Indonesia dan tidak lupa pula Monumen Pers Nasional juga telah ikut mencerdaskan bangsa. Di gedung ini kita bisa menjumpai begitu banyak surat kabar dari masa ke masa yang masih disimpan sebagai dokumentasi. Sebelum memasuki gedung ini, di depan gedung terdapat sebuah papan baca yang berisi berita terbaru dari beberapa surat kabar yang bisa dibaca oleh setiap orang yang melewatinya. Dengan adanya papan baca tersebut maka orang-orang yang lewat diharapkan mendapat lebih banyak informasi. pengunjung papan baca tersebut bukan hanya dari kalangan terpelajar, tetapi juga termasuk para pejalan kaki, sopir taksi, pengemudi becak, pemulung, dan sebagainya.
            Salah satu program yang dilaksanakan adalah program digitalisasi surat kabar atau bukti terbit media cetak dari seluruh Indonesia baik di masa sebelum kemerdekaan ataupun masa kini. Banyak koleksi media cetak utamanya yang terbit di masa sebelum kemerdekaan Indonesia yang tersimpan di Monumen Pers Nasional . Karena bahan koleksi media terbuat dari kertas yang sudah tersimpan lebih dari setengah abad tentu saja kondisinya memprihatinkan. Untuk itu dengan adanya proses digitalisasi tersebut tentu dapat menyelamatkan dokumentasi bukti terbit media cetak agar tidak lapuk dan hilang ditelan masa.
            Ruang media yang dilengkapi dengan teknologi touchscreen pun dapat digunakan oleh pengunjung untuk mengakses surat kabar yang telah didigitalisasi. Digitalisasi itu sangat bermanfaat bagi para pengunjung yang memiliki keinginan atau kepentingan untuk mengakses koran-koran lama yang mungkin sudah tidak ada lagi di tempat mana pun, tetapi di Monumen Pers Nasional ini koran-koran lama yang sudah didigitalisasi tadi dapat diakses dengan mudah tanpa harus membongkar tumpukan koran-koran lama yang mungkin sudah lapuk.
            Bukan hanya ruang media yang dapat membuktikan bahwa Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak dalam mencerdaskan masyarakat, tetapi fasilitas-fasilitas lain juga mendukung Monumen Pers Nasional dalam mencerdaskan banyak orang yang berkunjung kesana. Di sana juga terdapat ruang internet yang bisa digunakan oleh para pengunjung yang hendak mengakses internet secara gratis, petugas pun mengatakan bahwa setiap harinya banyak pelajar maupun mahasiswa yang datang kesini untuk mencari tugas dan memanfaatkan fasilitas internet gratis. Selain fasilitas internet, di Monumen Pers Nasional juga terdapat ruang perpustakaan dan ruang dokumentasi yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk menambah pengetahuan mereka terutama di bidang kewartawanan.  
Kesan saat berada di Monumen Pers Nasional
          Bangunan Monumen Pers Nasional yang sangat artistik telah menyita perhatian saya sejak melihat gedung itu dari kejauhan. Bangunan yang unik dan sangat menggambarkan kebudayaan Indonesia terutama terlihat dari bangunannya yang menyerupai candi. Di depan gedung terdapat empat buah patung naga yang menambah kesan artistik dari gedung Monumen Pers Nasional, apalagi setelah mengetahui bahwa keempat patung naga tersebut mempunyai arti tersendiri.
            Tidak puas hanya melirik pada bagian bawah gedung Monumen Pers Nasional, akhirnya saya mencoba untuk menjelajahi ruang digitalisasi di bagian atas dan untungnya para petugas memperbolehkan saya untuk melihat sendiri prosesnya. Di ruang itu saya bertemu dengan dua orang petugas yang sedang melakukan proses digitalisasi, kedua petugas mengenakan masker dengan alasan agar proses digitalisasi dapat berlangsung dengan steril. Semua harus dijaga dengan baik karena yang didigitalisasi adalah koran-koran lama yang kondisinya mudah rusak dan harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.
            Sepertinya langkah yang saya ambil untuk masuk ke ruang digitalisasi adalah langkah yang tepat karena tepat pada saat itu petugas sedang melakukan proses digitalisasi koran dari tahun 1980an, yaitu koran “Angkatan Bersenjata”. Saya bisa melihat sendiri proses digitalisasi, mulai dari pemotretan hingga data ditransfer ke dalam bentuk digital. Dalam sehari para petugas bisa melakukan proses digitalisasi kurang lebih 500 halaman koran yang diprioritaskan mulai tahun 1960 sampai 1980. Masuk ke ruang digitalisasi seperti masuk ke markasnya koran-koran lama, di sana banyak sekali tumpukan koran-koran lama yang menanti untuk diselamatkan dengan proses digitalisasi.
            Setelah puas menyita waktu para petugas di ruang digitalisasi dengan banyaknya rentetan pertanyaan akhirnya saya pamit dan mulai menjelajah tempat-tempat lain. Langkah saya semakin bersemangat ketika para pengurus mengizinkan saya untuk melihat-lihat ke bagian atas gedung, apalagi setelah diberitahu bahwa di Monumen Pers Nasional juga ada rooftop, tempat favorit saya untuk melepaskan penat. Tanpa basa-basi akhirnya saya bergegas menuju rooftop  dengan segenap semangat untuk menaiki tangga hingga bagian teratas. Setelah mencapai puncak, alangkah terkejutnya saya melihat pemandangan kota Solo yang begitu jelas dari puncak Monumen Pers Nasional.
            Suasana di puncak tertinggi dari Monumen Pers Nasional semakin membuat kepenatan saya saat itu sirna, meskipun cuaca sedikit lembap akibat rintik-rintik hujan yang membasahi kota Solo sore itu. Rooftop memang selalu menjadi tempat andalan saya di sela-sela kepenatan. Setelah cukup lama memandangi kota Solo dari puncak Monumen Pers Nasional, saya semakin yakin untuk mengunjungi lagi tempat ini suatu saat nanti. Ketenangan yang saya dapatkan di puncak Monumen Pers Nasional cukup membuat penutup perjalanan saya di kota Solo semakin lengkap setelah mendapat banyak pengetahuan mulai dari musik, rekaman, hingga sejarah pers di Indonesia. Meskipun sempat ketinggalan bus, tetapi pengalaman dari perjalanan ke Solo waktu itu akan menjadi pengalaman berharga yang sulit untuk dilupakan. #thanks God for this opportunity 
              
referensi :
buku panduan "Koleksi Benda Pers Bersejarah" dan buku panduan "Profil Monumen Pers Nasional 2013"