Setelah puas menjelajahi studio
rekaman Indonesia yang pertama, akhirnya kami melanjutkan rute perjalanan
menuju Monumen Pers Nasional. Cuaca saat itu tidak begitu mendukung perjalanan
kami menuju Monumen Pers Nasional, awan yang mendung akhirnya menumpahkan tetes
demi tetes air ke permukaan bumi. Untungnya rintik hujan tidak menghambat
langkah kami untuk tetap bersuka cita di Monumen Pers Nasional. Keringat pun
terbalas ketika pertama kali kami sampai di seberang Monumen Pers Nasional,
jujur saya sendiri begitu takjub melihat gedung Monumen Pers Nasional dari
kejauhan.
Monumen Pers Nasional pada awalnya merupakan
Gedung Sasonosuko atau Sositet Mangkunegaran, semula merupakan gedung pertemuan
bagi kerabat Mangkunegaran, oleh pendirinya Sri Mangkunegaran VII pada 21
Desember 1918. Gedung tersebut merupakan hasil karya arsitek Semarang terkenal
di jaman “voor de oorlg” atau Hindia Belanda, R. Atmodirono arsitek pertama
bangsa Indonesia. pada tanggal 9 Februari 1978, Monumen pers Nasional
diresmikan dan dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto.
Selanjutnya Monumen Pers Nasional
dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers yang bertugas mengatur dan
mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung
Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Solo. Dalam perkembangan
berikutnya, pada tahun 2002 Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi Unit
Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Gedung
ini menjadi saksi bisu lahirnya Soloche Radio Vereeniging (SRV) atau radio
pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan, serta saksi bisu terbentuknya
organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia).
Menyimpan
sejarah lama kewartawanan
Monumen Pers Nasional menjadi salah satu tempat yang wajib
dikunjungi oleh seluruh wartawan atau pers di Indonesia. Gedung ini menyimpan
banyak sejarah sejak awal munculnya pers di Indonesia dari masa ke masa.
Pertama kali memasuki gedung ini, kita akan disambut oleh deretan patung-patung
yang tidak lain adalah para perintis pers Indonesia, seperti : R. Darmosoegito,
R. Bakrie Soeriaatmadja, Soetopo Wonobojo, R.M. Bintarti, Dr. Abdul Rivai, DR.
GSSJ Ratulangie, RM. Tirto Adhi Soeryo, Dr. Danudirdja Setiabudhi, Djamaludin
Adinegoro, R.M. Soedarjo Tjokrosisworo. Deretan patung-patung tersebut
dilengkapi dengan penjelasan singkat tentang kontribusi para perintis dalam
dunia pers Indonesia.
Pemancar radio “RRI KAMBING” juga ikut menyambut kedatangan
kami di bagian depan Monumen Pers Nasional, mesin tua ini dulunya digunakan
untuk mengumandangkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta
menghindari serangan musuh, pemancar radio ini disembunyikan di sebuah kandang
kambing agar tidak diketahui oleh pihak lain. Bukan hanya itu, di gedung ini
juga tersimpan beberapa mesin ketik lama yang merupakan milik wartawan-wartawan
terdahulu yang telah berkontribusi bagi bangsa ini.
Tidak ketinggalan ada enam episode
diorama yang menceritakan sejarah perkembangan pers dan informasi di Indonesia
yang dipajang di ruang pamer permanen Monumen Pers Nasional. Diorama pertama,
menggambarkan penyampaian berita pada jaman pra sejarah hingga kerajaan di
dunia. Diorama kedua, menggambarkan pers pada jaman penjajahan Belanda. Diorama
ketiga, menggambarkan pers pada jaman penjajahan jepang. Diorama keempat,
menggambarkan perkembangan pers Indonesia pada awal kemerdekaan. Diorama
kelima, menggambarkan perkembangan pers di masa Orde Baru. Diorama keenam,
menggambarkan perkembangan pers pada masa reformasi. Selain itu juga ada
koleksi surat kabar sejak sebelum kemerdekaan.
Ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa
Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak terhadap
perkembangan pers di Indonesia dan tidak lupa pula Monumen Pers Nasional juga
telah ikut mencerdaskan bangsa. Di gedung ini kita bisa menjumpai begitu banyak
surat kabar dari masa ke masa yang masih disimpan sebagai dokumentasi. Sebelum
memasuki gedung ini, di depan gedung terdapat sebuah papan baca yang berisi
berita terbaru dari beberapa surat kabar yang bisa dibaca oleh setiap orang
yang melewatinya. Dengan adanya papan baca tersebut maka orang-orang yang lewat
diharapkan mendapat lebih banyak informasi. pengunjung papan baca tersebut
bukan hanya dari kalangan terpelajar, tetapi juga termasuk para pejalan kaki,
sopir taksi, pengemudi becak, pemulung, dan sebagainya.
Salah satu program yang dilaksanakan
adalah program digitalisasi surat kabar atau bukti terbit media
cetak dari seluruh Indonesia baik di masa sebelum kemerdekaan ataupun masa
kini. Banyak koleksi media cetak utamanya yang terbit di masa sebelum
kemerdekaan Indonesia yang tersimpan di Monumen Pers Nasional . Karena bahan
koleksi media terbuat dari kertas yang sudah tersimpan lebih dari setengah abad
tentu saja kondisinya memprihatinkan. Untuk itu dengan adanya proses
digitalisasi tersebut tentu dapat menyelamatkan dokumentasi bukti terbit media
cetak agar tidak lapuk dan hilang ditelan masa.
Ruang media yang dilengkapi dengan
teknologi touchscreen pun dapat digunakan oleh pengunjung untuk
mengakses surat kabar yang telah didigitalisasi. Digitalisasi itu sangat
bermanfaat bagi para pengunjung yang memiliki keinginan atau kepentingan untuk
mengakses koran-koran lama yang mungkin sudah tidak ada lagi di tempat mana
pun, tetapi di Monumen Pers Nasional ini koran-koran lama yang sudah
didigitalisasi tadi dapat diakses dengan mudah tanpa harus membongkar tumpukan
koran-koran lama yang mungkin sudah lapuk.
Bukan hanya ruang media yang dapat
membuktikan bahwa Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak dalam
mencerdaskan masyarakat, tetapi fasilitas-fasilitas lain juga mendukung Monumen
Pers Nasional dalam mencerdaskan banyak orang yang berkunjung kesana. Di sana
juga terdapat ruang internet yang bisa digunakan oleh para pengunjung yang
hendak mengakses internet secara gratis, petugas pun mengatakan bahwa setiap
harinya banyak pelajar maupun mahasiswa yang datang kesini untuk mencari tugas
dan memanfaatkan fasilitas internet gratis. Selain fasilitas internet, di
Monumen Pers Nasional juga terdapat ruang perpustakaan dan ruang dokumentasi
yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk menambah pengetahuan mereka
terutama di bidang kewartawanan.
Kesan
saat berada di Monumen Pers Nasional
Bangunan Monumen Pers Nasional yang sangat artistik telah
menyita perhatian saya sejak melihat gedung itu dari kejauhan. Bangunan yang
unik dan sangat menggambarkan kebudayaan Indonesia terutama terlihat dari
bangunannya yang menyerupai candi. Di depan gedung terdapat empat buah patung
naga yang menambah kesan artistik dari gedung Monumen Pers Nasional, apalagi
setelah mengetahui bahwa keempat patung naga tersebut mempunyai arti
tersendiri.
Tidak puas hanya melirik pada bagian
bawah gedung Monumen Pers Nasional, akhirnya saya mencoba untuk menjelajahi
ruang digitalisasi di bagian atas dan untungnya para petugas memperbolehkan
saya untuk melihat sendiri prosesnya. Di ruang itu saya bertemu dengan dua
orang petugas yang sedang melakukan proses digitalisasi, kedua petugas
mengenakan masker dengan alasan agar proses digitalisasi dapat berlangsung
dengan steril. Semua harus dijaga dengan baik karena yang didigitalisasi adalah
koran-koran lama yang kondisinya mudah rusak dan harus diperlakukan dengan
sangat hati-hati.
Sepertinya langkah yang saya ambil
untuk masuk ke ruang digitalisasi adalah langkah yang tepat karena tepat pada
saat itu petugas sedang melakukan proses digitalisasi koran dari tahun 1980an,
yaitu koran “Angkatan Bersenjata”. Saya bisa melihat sendiri proses
digitalisasi, mulai dari pemotretan hingga data ditransfer ke dalam bentuk
digital. Dalam sehari para petugas bisa melakukan proses digitalisasi kurang
lebih 500 halaman koran yang diprioritaskan mulai tahun 1960 sampai 1980. Masuk
ke ruang digitalisasi seperti masuk ke markasnya koran-koran lama, di sana
banyak sekali tumpukan koran-koran lama yang menanti untuk diselamatkan dengan
proses digitalisasi.
Setelah puas menyita waktu para
petugas di ruang digitalisasi dengan banyaknya rentetan pertanyaan akhirnya
saya pamit dan mulai menjelajah tempat-tempat lain. Langkah saya semakin
bersemangat ketika para pengurus mengizinkan saya untuk melihat-lihat ke bagian
atas gedung, apalagi setelah diberitahu bahwa di Monumen Pers Nasional juga ada
rooftop, tempat favorit saya untuk melepaskan penat. Tanpa basa-basi
akhirnya saya bergegas menuju rooftop dengan segenap semangat untuk menaiki tangga
hingga bagian teratas. Setelah mencapai puncak, alangkah terkejutnya saya
melihat pemandangan kota Solo yang begitu jelas dari puncak Monumen Pers
Nasional.
Suasana di puncak tertinggi dari
Monumen Pers Nasional semakin membuat kepenatan saya saat itu sirna, meskipun
cuaca sedikit lembap akibat rintik-rintik hujan yang membasahi kota Solo sore
itu. Rooftop memang selalu menjadi tempat andalan saya di sela-sela
kepenatan. Setelah cukup lama memandangi kota Solo dari puncak Monumen Pers
Nasional, saya semakin yakin untuk mengunjungi lagi tempat ini suatu saat
nanti. Ketenangan yang saya dapatkan di puncak Monumen Pers Nasional cukup
membuat penutup perjalanan saya di kota Solo semakin lengkap setelah mendapat
banyak pengetahuan mulai dari musik, rekaman, hingga sejarah pers di Indonesia.
Meskipun sempat ketinggalan bus, tetapi pengalaman dari perjalanan ke Solo
waktu itu akan menjadi pengalaman berharga yang sulit untuk dilupakan. #thanks
God for this opportunity
referensi :
buku panduan "Koleksi Benda Pers Bersejarah" dan buku panduan "Profil Monumen Pers Nasional 2013"