Minggu, 25 Mei 2014

Sore itu di Monumen Pers Nasional

          Setelah puas menjelajahi studio rekaman Indonesia yang pertama, akhirnya kami melanjutkan rute perjalanan menuju Monumen Pers Nasional. Cuaca saat itu tidak begitu mendukung perjalanan kami menuju Monumen Pers Nasional, awan yang mendung akhirnya menumpahkan tetes demi tetes air ke permukaan bumi. Untungnya rintik hujan tidak menghambat langkah kami untuk tetap bersuka cita di Monumen Pers Nasional. Keringat pun terbalas ketika pertama kali kami sampai di seberang Monumen Pers Nasional, jujur saya sendiri begitu takjub melihat gedung Monumen Pers Nasional dari kejauhan. 
       Monumen Pers Nasional pada awalnya merupakan Gedung Sasonosuko atau Sositet Mangkunegaran, semula merupakan gedung pertemuan bagi kerabat Mangkunegaran, oleh pendirinya Sri Mangkunegaran VII pada 21 Desember 1918. Gedung tersebut merupakan hasil karya arsitek Semarang terkenal di jaman “voor de oorlg” atau Hindia Belanda, R. Atmodirono arsitek pertama bangsa Indonesia. pada tanggal 9 Februari 1978, Monumen pers Nasional diresmikan dan dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto.
            Selanjutnya Monumen Pers Nasional dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers yang bertugas mengatur dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Solo. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2002 Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Gedung ini menjadi saksi bisu lahirnya Soloche Radio Vereeniging (SRV) atau radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan, serta saksi bisu terbentuknya organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Menyimpan sejarah lama kewartawanan
          Monumen Pers Nasional menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh seluruh wartawan atau pers di Indonesia. Gedung ini menyimpan banyak sejarah sejak awal munculnya pers di Indonesia dari masa ke masa. Pertama kali memasuki gedung ini, kita akan disambut oleh deretan patung-patung yang tidak lain adalah para perintis pers Indonesia, seperti : R. Darmosoegito, R. Bakrie Soeriaatmadja, Soetopo Wonobojo, R.M. Bintarti, Dr. Abdul Rivai, DR. GSSJ Ratulangie, RM. Tirto Adhi Soeryo, Dr. Danudirdja Setiabudhi, Djamaludin Adinegoro, R.M. Soedarjo Tjokrosisworo. Deretan patung-patung tersebut dilengkapi dengan penjelasan singkat tentang kontribusi para perintis dalam dunia pers Indonesia.    
          Pemancar radio “RRI KAMBING” juga ikut menyambut kedatangan kami di bagian depan Monumen Pers Nasional, mesin tua ini dulunya digunakan untuk mengumandangkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta menghindari serangan musuh, pemancar radio ini disembunyikan di sebuah kandang kambing agar tidak diketahui oleh pihak lain. Bukan hanya itu, di gedung ini juga tersimpan beberapa mesin ketik lama yang merupakan milik wartawan-wartawan terdahulu yang telah berkontribusi bagi bangsa ini.
            Tidak ketinggalan ada enam episode diorama yang menceritakan sejarah perkembangan pers dan informasi di Indonesia yang dipajang di ruang pamer permanen Monumen Pers Nasional. Diorama pertama, menggambarkan penyampaian berita pada jaman pra sejarah hingga kerajaan di dunia. Diorama kedua, menggambarkan pers pada jaman penjajahan Belanda. Diorama ketiga, menggambarkan pers pada jaman penjajahan jepang. Diorama keempat, menggambarkan perkembangan pers Indonesia pada awal kemerdekaan. Diorama kelima, menggambarkan perkembangan pers di masa Orde Baru. Diorama keenam, menggambarkan perkembangan pers pada masa reformasi. Selain itu juga ada koleksi surat kabar sejak sebelum kemerdekaan.

Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
          Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak terhadap perkembangan pers di Indonesia dan tidak lupa pula Monumen Pers Nasional juga telah ikut mencerdaskan bangsa. Di gedung ini kita bisa menjumpai begitu banyak surat kabar dari masa ke masa yang masih disimpan sebagai dokumentasi. Sebelum memasuki gedung ini, di depan gedung terdapat sebuah papan baca yang berisi berita terbaru dari beberapa surat kabar yang bisa dibaca oleh setiap orang yang melewatinya. Dengan adanya papan baca tersebut maka orang-orang yang lewat diharapkan mendapat lebih banyak informasi. pengunjung papan baca tersebut bukan hanya dari kalangan terpelajar, tetapi juga termasuk para pejalan kaki, sopir taksi, pengemudi becak, pemulung, dan sebagainya.
            Salah satu program yang dilaksanakan adalah program digitalisasi surat kabar atau bukti terbit media cetak dari seluruh Indonesia baik di masa sebelum kemerdekaan ataupun masa kini. Banyak koleksi media cetak utamanya yang terbit di masa sebelum kemerdekaan Indonesia yang tersimpan di Monumen Pers Nasional . Karena bahan koleksi media terbuat dari kertas yang sudah tersimpan lebih dari setengah abad tentu saja kondisinya memprihatinkan. Untuk itu dengan adanya proses digitalisasi tersebut tentu dapat menyelamatkan dokumentasi bukti terbit media cetak agar tidak lapuk dan hilang ditelan masa.
            Ruang media yang dilengkapi dengan teknologi touchscreen pun dapat digunakan oleh pengunjung untuk mengakses surat kabar yang telah didigitalisasi. Digitalisasi itu sangat bermanfaat bagi para pengunjung yang memiliki keinginan atau kepentingan untuk mengakses koran-koran lama yang mungkin sudah tidak ada lagi di tempat mana pun, tetapi di Monumen Pers Nasional ini koran-koran lama yang sudah didigitalisasi tadi dapat diakses dengan mudah tanpa harus membongkar tumpukan koran-koran lama yang mungkin sudah lapuk.
            Bukan hanya ruang media yang dapat membuktikan bahwa Monumen Pers Nasional telah berkontribusi banyak dalam mencerdaskan masyarakat, tetapi fasilitas-fasilitas lain juga mendukung Monumen Pers Nasional dalam mencerdaskan banyak orang yang berkunjung kesana. Di sana juga terdapat ruang internet yang bisa digunakan oleh para pengunjung yang hendak mengakses internet secara gratis, petugas pun mengatakan bahwa setiap harinya banyak pelajar maupun mahasiswa yang datang kesini untuk mencari tugas dan memanfaatkan fasilitas internet gratis. Selain fasilitas internet, di Monumen Pers Nasional juga terdapat ruang perpustakaan dan ruang dokumentasi yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk menambah pengetahuan mereka terutama di bidang kewartawanan.  
Kesan saat berada di Monumen Pers Nasional
          Bangunan Monumen Pers Nasional yang sangat artistik telah menyita perhatian saya sejak melihat gedung itu dari kejauhan. Bangunan yang unik dan sangat menggambarkan kebudayaan Indonesia terutama terlihat dari bangunannya yang menyerupai candi. Di depan gedung terdapat empat buah patung naga yang menambah kesan artistik dari gedung Monumen Pers Nasional, apalagi setelah mengetahui bahwa keempat patung naga tersebut mempunyai arti tersendiri.
            Tidak puas hanya melirik pada bagian bawah gedung Monumen Pers Nasional, akhirnya saya mencoba untuk menjelajahi ruang digitalisasi di bagian atas dan untungnya para petugas memperbolehkan saya untuk melihat sendiri prosesnya. Di ruang itu saya bertemu dengan dua orang petugas yang sedang melakukan proses digitalisasi, kedua petugas mengenakan masker dengan alasan agar proses digitalisasi dapat berlangsung dengan steril. Semua harus dijaga dengan baik karena yang didigitalisasi adalah koran-koran lama yang kondisinya mudah rusak dan harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.
            Sepertinya langkah yang saya ambil untuk masuk ke ruang digitalisasi adalah langkah yang tepat karena tepat pada saat itu petugas sedang melakukan proses digitalisasi koran dari tahun 1980an, yaitu koran “Angkatan Bersenjata”. Saya bisa melihat sendiri proses digitalisasi, mulai dari pemotretan hingga data ditransfer ke dalam bentuk digital. Dalam sehari para petugas bisa melakukan proses digitalisasi kurang lebih 500 halaman koran yang diprioritaskan mulai tahun 1960 sampai 1980. Masuk ke ruang digitalisasi seperti masuk ke markasnya koran-koran lama, di sana banyak sekali tumpukan koran-koran lama yang menanti untuk diselamatkan dengan proses digitalisasi.
            Setelah puas menyita waktu para petugas di ruang digitalisasi dengan banyaknya rentetan pertanyaan akhirnya saya pamit dan mulai menjelajah tempat-tempat lain. Langkah saya semakin bersemangat ketika para pengurus mengizinkan saya untuk melihat-lihat ke bagian atas gedung, apalagi setelah diberitahu bahwa di Monumen Pers Nasional juga ada rooftop, tempat favorit saya untuk melepaskan penat. Tanpa basa-basi akhirnya saya bergegas menuju rooftop  dengan segenap semangat untuk menaiki tangga hingga bagian teratas. Setelah mencapai puncak, alangkah terkejutnya saya melihat pemandangan kota Solo yang begitu jelas dari puncak Monumen Pers Nasional.
            Suasana di puncak tertinggi dari Monumen Pers Nasional semakin membuat kepenatan saya saat itu sirna, meskipun cuaca sedikit lembap akibat rintik-rintik hujan yang membasahi kota Solo sore itu. Rooftop memang selalu menjadi tempat andalan saya di sela-sela kepenatan. Setelah cukup lama memandangi kota Solo dari puncak Monumen Pers Nasional, saya semakin yakin untuk mengunjungi lagi tempat ini suatu saat nanti. Ketenangan yang saya dapatkan di puncak Monumen Pers Nasional cukup membuat penutup perjalanan saya di kota Solo semakin lengkap setelah mendapat banyak pengetahuan mulai dari musik, rekaman, hingga sejarah pers di Indonesia. Meskipun sempat ketinggalan bus, tetapi pengalaman dari perjalanan ke Solo waktu itu akan menjadi pengalaman berharga yang sulit untuk dilupakan. #thanks God for this opportunity 
              
referensi :
buku panduan "Koleksi Benda Pers Bersejarah" dan buku panduan "Profil Monumen Pers Nasional 2013"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar