Kamis, 12 Desember 2013

Mereka Sebut Aku Durhaka

   Arrrggh! Desa ini memang begitu menenangkan, tapi lambat laun semua pasti akan berubah. Jika aku boleh berharap, aku ingin sekali tak ada yang berubah dari desa ini. Sayang, perubahan itu kini semakin merasuki desa yang aku banggakan melahap satu persatu ketenangan yang ada dan hanya menyisakan sebuah cerita masa lampau. Tak mungkin aku bisa bertahan di tengah kondisi ini.

   Di desa ini aku tumbuh menjadi seorang remaja yang penuh mimpi dan ambisi. Tak ada yang mampu melawan setiap ambisi yang aku miliki. Mungkin banyak orang yang menyebut ambisiku ini sebagai afiliasi dari keegoisanku tapi aku tak pernah memperdulikan setiap celotehan yang aku anggap hanya sebuah kicauan semata yang hilang terbawa angin.

   Ambisi itulah yang kini merasuki setiap tekad yang ada di dalam relung hatiku yang kini rasanya semakin mengeras, menggerogoti setiap pikiran yang berkelebat di dalam sel-sel otakku. Aku hendak keluar dari desa ini! itulah ambisiku yang saat ini menjadi pertentangan dan permasalahan besar bagi banyak orang. Tapi aku tetap tak peduli, telingaku serasa telah tuli dari ceramah panjang orang-orang di sekelilingku. 

"apa kau sudah gila? dari mana kau bisa mendapatkan uang untuk pergi berkelana mencari ketenangan yang selalu kau elu-elu kan itu?" uni (sebutan kakak di Minangkabau) menghardik ku dengan segenap kemarahannya yang meluap.

"uang tak akan pernah menjadi penghalang bagi setiap langkah ku, uni. bagaimanapun caranya aku pasti bisa angkat kaki dari desa ini" dengan ambisi yang menggebu aku membantah perkataannya.

"omong kosong, kau tak akan bisa pergi tanpa persediaan materi sedikit pun, yang ada kau hanya menjadi sampah di tanah orang, tak kan ada yang memperdulikanmu jika mati kelaparan disana, percuma saja kau pintar tapi otakmu tak berguna"
 
"dunia ini memang kejam, aku memang tak mempunyai uang atau harta lainnya. tapi aku bisa membuktikan kepada uni, aku tak akan menjadi sampah di tanah orang, justru disini lah aku merasa sebagai sampah yang tak berguna" 

PLAK! tamparan yang begitu keras berhasil menyisakan sebuah jejak kemerahan di pipiku yang terasa begitu panas dan menyesakkan. Kuatnya ambisiku telah berhasil mengusir air mata itu pergi jauh dari bola mataku, aku tak membutuhkan air mata itu saat ini. Percuma saja, aku tetap pada pendirianku, aku akan angkat kaki dari desa ini.

"pikirkan baik-baik keputusanmu ini, kau telah dewasa tak semestinya kau memutuskan sikap yang kekanakan seperti ini" mamak (paman) mencoba menggoyahkan pertahananku yang terlanjur kuat tertancap bagai akar sebuah pohon yang berumur ratusan tahun.

"aku sudah yakin mak dan teramat yakin dengan pilihan ini. aku hanya mencari sebuah ketenangan, mengikuti kata hatiku"

"hidup di luar sana tak seindah yang kau bayangkan nak, kau bisa saja mati karna keganasan hidup ini"
 
"tekadku sudah bulat, aku tetap akan pergi mak, maafkan aku menjadi pembantah" 

"kau begitu keras kepala, kami tak pernah mendidikmu menjadi anak seperti ini. lantas tak pernah kah kau berfikir bagaimana nasib ibumu? siapa yang akan merawat dan menjaganya?"
 
"aku menitip kan ibu kepada Tuhan yang akan selalu mendampinginya"
 
"tegakah kau membiarkan ibumu sendiri disini?"
 
aku tak kuasa untuk menjawab pertanyaan terakhir itu. mulutku terasa begitu kaku dan tak sanggup melontarkan satu kata pun. aku hanya menunduk bisu dengan segenap ambisi yang menjalar di tubuhku. Ambisi itu telah menutup hati dan segenap perasaanku.

"maaf, aku akan tetap pergi mencari sebuah kehidupan yang lebih layak"
 
"sudah lah, kau begitu keras kepala. dengan teganya kau membiarkan ibumu sendiri disini? kau memang pantas disebut 'anak durhaka' karena perangaimu"

"aku merasa akan menjadi anak yang durhaka jika aku hanya berdiam diri disini tanpa ada yang bisa aku perbuat untuk ibu"

"banyak yang bisa kau perbuat disini, mengapa kau harus susah payah mencari tempat lain yang belum tentu baik untukmu?"

"sekali lagi maaf mak, aku sudah tidak tahan dengan keadaan orang-orang di desa ini. semakin hari aku semakin tertekan mendengar celaan serta pandangan miring orang lain dengan keluarga kita. aku ingin mencari kehidupan yang lebih layak di luar sana dan membuktikan kepada orang-orang bahwa keberadaan kita pantas untuk diperhitungkan di desa ini, biarkan aku pergi"

   Ibu tak bisa berkata apa-apa, ia hanya bungkam dan tak berani mengedarkan pandangannya ke arahku, aku tahu ibu pasti kecewa dan begitu sakit, air matanya tak berhenti mengalir, itulah yang membuat tekadku semakin bulat untuk melangkah. Aku tak ingin ibu juga semakin tertekan di desa ini, karena itulah aku harus segera pergi dan mencari jalan keluar yang terbaik untuk setiap permasalahan ini.

   Kuatnya ambisi telah menguatkan tekadku untuk pergi dari desa ini. Diiringi dengan caci dan maki serta gelar 'durhaka' yang melekat pada diriku aku melangkah dengan penuh keyakinan, suatu saat nanti aku akan pulang membawa beribu kebahagiaan dan mengobati hati ibu yang perih dengan kepergianku. Aku bertekad dalam diriku, aku bukanlah malin kundang yang tega melupakan kampung serta ibu yang telah melahirkannya, ketika aku pulang nanti aku akan membawa berita gembira kepada ibu dan melupakan rasa sakit terhadap penduduk desa ini yang dulu pernah singgah di dalam kehidupanku. 

   Biarlah kini mereka menyebutku durhaka karena ku yakin ada masa dimana aku bisa membuktikan kepada mereka semua bahwa ambisi ini bukan hanya tindakan yang sia-sia semata. Aku akan buktikan itu!  kini, Aku pergi dan suatu saat nanti aku pasti kan pulang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar